Sebulan belakangan, masyarakat Indonesia disuguhi hingar bingar mengenai rencana konser Coldplay. Bagaimana tidak, topik ini menjadi trending dalam berbagai media sosial sejak Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Uno mengonfirmasi konser tersebut melalui Instagram pada 3 Mei 2023 lalu.
Tak hanya sampai di media sosial, ketika promotor konser Coldplay membuka jalur penjualan tiket secara daring, sebanyak 1,5 juta orang mengantre untuk membeli. Padahal, tiket yang tersedia tidak lebih dari 60.000 dan konsernya baru dijadwalkan pada 15 November 2023. Konser Coldplay sendiri merupakan salah satu konser yang diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Pembatasan Akibat Pandemi Menjadi Latar Belakang
Sebelumnya, ketika pemerintah Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berganti nama menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pada masa pembatasan tersebut, masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas yang mengundang keramaian.
Pembatasan yang berlaku termasuk kunjungan ke tempat wisata dan acara-acara hiburan seperti konser. Setelah dilonggarkan, kegiatan-kegiatan tersebut bak jamur di musim hujan, tak hanya di ibukota tetapi juga menyebar ke seluruh Indonesia.
Lalu, bagaimana hal ini bisa menjadi fenomena di seluruh dunia? Apa yang dilakukan oleh profesional di industri pariwisata untuk dapat memanfaatkan kesempatan ketika keran pembatasan dibuka? Bagaimana pula strategi yang harus diimplementasikan agar fenomena ini tidak hanya terjadi dalam jangka pendek, namun bisa lebih berkelanjutan?
Program Studi atau Jurusan Event Management, Multimedia Nusantara Polytechnic (MNP) menyelenggarakan public seminar bertema Revenge Tourism: The Beginning of Vibrant Tourism. Lebih dari 60 peserta dari beberapa perguruan tinggi di Jabodetabek, mendengarkan pemaparan dari tiga pemateri secara langsung di Kampus MNP, Gading Serpong, Tangerang.
Sesi pertama dibawakan oleh Prof. Diena Mutiara selaku Dekan Fakultas Pariwisata UPH, sesi kedua oleh Dr. Vitria Ariani selaku CEO & Founder Berbangsa, serta Didit Siswodwiatmoko sekalu Founder of Temali Indonesia. Seminar onsite di Kampus MNP, Gading Serpong, Tangerang ini merupakan implementasi dari Project Based Learning (PBL) dari mahasiswa Event Management.
Revenge Tourism sebagai Fenomena Pascapandemi
Fenomena Revenge Tourism menjadi tumpuan bagi industri pariwisata di seluruh dunia. Namun, ada sedikit kekhawatiran bahwa hal ini menjadi fenomena sementara jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini dapat tercermin dari definisi Revenge Tourism yang dipaparkan oleh Prof. Diena.
“Revenge tourism berarti kesempatan bagi orang-orang untuk mengakses kembali kebebasan mereka dan menjelajahi bagian dunia yang tidak dapat diakses sebelumnya. Istilah ini mengacu pada lonjakan permintaan perjalanan karena orang-orang berusaha untuk mengganti waktu dan kesempatan yang hilang selama periode lockdown. Revenge Tourism adalah fenomena yang dipicu oleh emosi manusia,” jelas Diena.
Diena juga mengungkapkan, pada saat pandemi, pegiat pariwisata termasuk pengelola destinasi hingga event organizer melakukan reorganizing institusinya. Hal ini dilakukan dalam rangka menyiapkan dibukanya kembali keran pariwisata di Indonesia melalui pelonggaran pencegahan Covid-19.
“Salah satu reorganizing yang dilakukan adalah dengan membuat ulang strategi bisnis agar bisa menjadi bagian dari sustainable tourism. Agar bisa berkelanjutan, pegiat pariwisata harus terus meningkatkan skalanya sambil mengembangkan bisnisnya untuk dapat lebih ramah lingkungan, baik alam maupun sosial,” tambahnya.
Revenge Tourism dan Kesempatan bagi Industri Pariwisata
Pada momen yang sama Vitria juga menjelaskan apa saja hal yang dibutuhkan oleh industri pariwisata untuk memanfaatkan momentum revenge tourism ini. Ia mengatakan bahwa salah satunya adalah Experiential Treveling, yang menjadi kebutuhan dasar bagi wisatawan saat pandemi hingga pascapandemi.
“Hasil survei IATA menunjukkan 60% wisatawan menganggap kebijakan pembatasan perjalanan udara berlangsung terlalu lama. Sekitar 75% masyarakat merasa tertekan akibat kebijakan tersebut. Perasaan ini menjadikan Off-beat travel destinations sebagai hotspot baru bagi pecinta perjalanan untuk melakukan revenge tourism,” ungkapnya.
Materi yang disampaikan oleh Vitria diamini oleh pembicara sesi ketiga yang juga menjadi bagian dalam Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (ASPERAPI). Didit mengatakan bahwa di Indonesia, jumlah penyelenggaraan pameran pada 2022 sebanyak 164 dengan lebih dari 2 juta pengunjung. Pada 2023 jumlah yang direncanakan meningkat menjadi 178 pameran, baik berskala nasional maupun internasional.
“Melonjaknya jumlah pameran ini juga diakibatkan oleh animo publik yang terpendam selama masa pembatasan. Akhirnya, mereka punya kebutuhan akan pengalaman yang harus dipuaskan. Pameran yang saya selenggarakan Indonesia International Pet Expo (IIPE), misalnya, adalah pameran untuk hewan peliharaan terbesar di Indonesia. IIPE itu full menjual experience, salah satu bentuknya adalah pet café di mana anabul kita bisa merasakan bagaimana ‘nongkrong’ di kafe,” terang Didit.
Experience yang diberikan juga dalam bentuk konferensi untuk kesejahteraan hewan. Hal ini tidak dimiliki oleh pameran-pameran hewan peliharaan lainya, sehingga dipastikan dapat memuaskan pengalaman pengunjung. Akhirnya, pengalaman unik dan menyenangkan yang didapatkan bisa membuat pengunjung menunggu dan berminat untuk ikut event lagi di masa depan.
Temukan berbagai informasi seputar MNP lainnya di menu News dan Feature webiste MNP. Kamu juga bisa mengikuti sosial media kami lainnya di @multimedianusantarapolytechnic untuk Instagram dan @lifeatmnp untuk TikTok.